Sahabat Brilliant-ku Sista

 



Dia adalah sahabatku sejak di bangku sekolah menengah atas. Sahabatku ketika kami masih berseragam putih abu-abu. Aku memanggilnya sista. Dia sederhana dan selalu berfikiran terbuka. Dulu, dia adalah orang yang aku kagumi karena pemikirannya yang jauh ke depan, faktual, dan brilliant. Secara akademik mungkin dia sepertiku,di tengah-tengah rata-rata, bukan di bawah ataupun di atas. Tapi, pandangannya terhadap sesuatu hal selalu membuatku terkagum-kagum. 


Kami sering membicarakan tentang musik, film, buku, atau hal random lainnya. Dia juga yang membuatku menyukai serial Harry potter, Naruto, Peterpan, dan Snsd yang sebenarnya awalnya aku tak terlalu tertarik. Apapun yang dia suka aku mulai mengikutinya. Karena ia sering membicarakan quote2 dalam film, buku, atau bahkan menceritakan detail tentang karakter public figur dengan cara pandang yang berbeda. Dan ya, aku tertarik. Kami bersahabat cukup dekat hingga bangku kuliah. 


Seiring berjalannya waktu kami memiliki kehidupan kami masing2. Lebih tepatnya aku yang mulai memiliki kesibukan sendiri dengan kehidupan baruku. Kami tak lagi cukup intens untuk berkomunikasi. Dia bekerja sebagai pendidik di sekolah agama. Perubahannya cukup drastis dari segi penampilan. Lebih sopan dan elegan dengan jilbab panjang. Pemikirannya pun jauh lebih luas. Bukan hanya tentang dunia, tapi tentang agama. Lagi-lagi dia menginspirasiku untuk mengikuti jejaknya, bekerja di lingkungan pendidikan yang agamis dengan harapan bisa menambah wawasan keagamaan seperti sahabatku. Tapi aku harus menyerah karena keadaan. Aku merelakan karirku untuk anak2ku.


Dia. Sistaku masih berlanjut di lingkungan yang sama dan bahkan mungkin lebih baik. Sekarang dia dikaruniai dua anak hebat. Laki-laki dan perempuan. Sama sepertiku. Alhamdulillah. Aku jarang bertukar kabar dengannya. Cukup memantau dirinya di sosial medianya. Aku selalau excited ketika dia mem-post dirinya di sosial media. Dia nampak bahagia dengan keluarga kecilnya dan sahabat-sahabatnya. Alhamdulillah, meskipun terkadang aku sedikit cemburu karena tak bisa duduk di sampingnya seperti apa yang dilakukan sahabatnya sekarang. Terkadang aku berhayal "andai yang di sampingnya itu adalah aku." Tapi aku tetap bahagia melihatnya tampak bahagia. Alhamdulillah.


Lama tak kulihat statusnya di sosial media. Dan tiba2 dia mengunggah berita duka tentang buah hatinya. Aku tak tau harus berkata dan bereaksi seperti apa. Aku hanya melihat story-nya berulang kali. Mencoba membalasnya. Mengetik lalu menghapusnya lagi. Mengetik lalu menghapusnya lagi. Begitu sampai berulang kali. Aku tak tau apakah kata-kataku akan menghiburnya atau justru membuatnya lebih terluka. Dan akhirnya ku ucapkan ucapan berbela sungkawa. Tak merespon, dia masih dalam masa berduka. Aku hanya ingin memeluknya. Sedalam apa luka yang ada di hatinya. Begitu yang aku pikirkan. 


Selang beberapa lama, dia mulai bercerita. Mengungkapkan bahwa apa yang dilaluinya adalah ketetapan Allah semata. Kehendak Allah, Ujian Allah, Rezeki Allah dan Kasih sayang Allah. Lagi-lagi dia membuatku kagum dan bangga. Dari ceritanya, ternyatanya banyak sekali orang-orang baik di sekitarnya. Orang-orang baik yang bisa menenagkan hatinya. Alhamdulillah. Allah ternyata amat menyayanginya. Allah teguhkan hatinya. Allah berikan rasa syukur lebih banyak dari rasa dukanya. Maka apalagi yang harus aku hawatirkan terhadap dirinya? Semoga setelah ini, Allah memberikannya banyak rasa syukur dan bahagia di kehidupan dunia dan akhiratnya. 


Terima kasih sudah memberikan banyak pelajaran hidup pada kami. Sistaku.



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MESKIPUN TIDAK BISA MENGGANTIKAN ASI, SUFOR BUKANLAH RACUN

PERSIAPAN MENU MPASI